Pages

Subscribe:

Senin, 21 November 2011

AGAR SURGA TERBUKA PINTUNYA

(Mutiah, perempuan yang pertama kali masuk surga)

Gambar ini bukan yang sesungguhnya

 by Ali Oman on Monday, May 16, 2011 at 7:53am

Atas kehendak suamimukah kau bawa cambuk itu?"
"Oh, sama sekali tidak. Suami saya adalah orang yang pengasih. Ini semata-mata kehendak saya agar saya jangan sampai menjadi istri yang durhaka kepada suami."
 
Pada suatu hari Fatimah bertanya kepada Rasulullah, siapakah perempuan yang bakal masuk surga pertama kali. Ia menjawab, seorang wanita yang bernama Mutiah. Fatimah terkejut, ternyata bukan dia seperti yang dibayangkannya. Mengapa orang lain, padahal dia adalah putri Nabi?Karena itu timbul keinginan untuk mengetahui siapakah Mutiah itu. Apakah gerangan yang diperbuatnya sampai mendapat kehormatan yang begitu tinggi?
Sesudah meminta izin kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib, Fatimah berangkat mencari rumah Mutiah. Putranya yang masih kecil, Hasan menangis ingin ikut. Maka digandengnya Hasan.
Tiba di rumah Mutiah, Fatimah mengetuk pintu dan memberi salam, “Assalamualaikum…!”
“Alaikumussalam! Siapa di luar?” terdengar jawaban yang lemah lembut dari dalam. Suaranya cerah dan merdu.
“Saya Fatimah, putrii Rasulullah.”
“Alhamdulillah, alangkah bahagianya saya hari ini. Fatimah sudi berkunjung ke gubuk saya,” terdengar kembali jawaban dari dalam. Kali ini nyata lebih gembira lagi, dan makin dekat ke pintu. “Sendirian, Fatimah?”
“Aku ditemani Hasan.”
“Aduh, maaf ya,” suara itu terdengar jadi menyesal. “Saya belum mendapat izin untuk menemui tamu laki-laki.”
“Tapi Hasan masih kecil.”
“Meskipun kecil, Hasan laki-laki. Besok saja datang lagi, saya akan minta izin kepada suami saya,” sahut Mutiah tak kurang kecewanya.
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Fatimah minta permisi.
Besoknya dia datang lagi. Kali ini Husain diajak juga. Maka bertiga dengan anak-anak yang masih kecil itu Fatimah mendatangi rumah Mutiah. Setelah memberi salam dan menjawab gembira, Mutiah berkata dari dalam, “Jadi dengan Hasan, Fatimah? Suami saya sudah memberi izin.”
“Ya, dengan Hasan dan Husain.”
“Ha? Mengapa tidak bilang dari kemarin? Yang dapat izin cuma Hasan. Husain belum. Terpaksa saya tidak menerima juga.”
Hari itu Fatimah gagal bertemu pula. Hanya esok harinya baru mereka disambut baik-baik oleh Mutiah di rumahnya.
Keadaan rumah itu sangat sederhana. Tidak ada satupun perabotan mewah. Namun semuanya teratur dengan rapi. Tempat tidur yang terbuat dari kayu kasar itu pun bersih sekali. Alasnya putih, agaknya baru dicuci. Dan bau di dalam sangat segar, membuat orang betah di dalam rumah.
Fatimah kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu. Sehingga Hasan dan Husain, yang biasanya tidak begitu senang berada di rumah orang, kali ini tampak asyik bermain-main.
“Maaf ya, saya tidak bisa menemani Fatimah duduk. Sebab saya sedang menyiapkan makan buat suami saya,” kata Mutiah sambil sibuk di dapur.
Mendekati tengah hari, masakan itu sudah siap semuanya. Lalu ditaruhnya di atas nampan. Mutiah mengambil cambuk, cambuk itu pun ditaruhnya di atas nampan. Maka Fatimah bertanya, “Suamimu kerja di mana?”
“Di ladang.”
“Penggembala?”
“Bukan. Bercocok tanam.”
“Tapi mengapa kau bawakan cambuk juga?”
“Oh itu,” sahut Mutiah seraya tersenyum. “Cambuk itu saya sediakan untuk keperluan lain. Maksud saya begini. Kalau suami saya sedang makan, maka saya akan tanyakan apakah masakan saya cocok atau tidak. Kalau dia bilang cocok, takkan terjadi apa-apa. Tapi kalau dia bilang tidak cocok, cambuk itu akan saya berikan kepadanya agar dicambuknya punggung saya, sebab tidak bisa menyenangkan hati suami.”
“Atas kehendak suamimukah kau bawa cambuk itu?”
“Oh, sama sekali tidak. Suami saya adalah orang yang pengasih. Ini semua semata-mata kehendak saya agar jangan sampai saya menjadi istri yang durhaka kepada suami.”
Mendengar penjelasan ini Fatimah lantas permisi pulang. Dalam hati ia berkata, pantas kalau Mutiah, perempuan yang masuk surga pertama kali, lantaran baktinya kepada suami begitu besar dan tulus. Dan perilaku kesetiaan semacam itu bukanlah lambang pembudakan wanita oleh kaum pria. Malah justru sebaliknya, merupakan cermin bagi citra ketulusan dan pengorbanan kaum wanita yang harus dihargai dengan perilaku yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar