Pages

Subscribe:

Senin, 21 November 2011

KEADILAN DALAM UJIAN

(ada yang lebih tinggi harganya daripada keadilan, yaitu memberi maaf)

by Ali Oman on Wednesday, May 18, 2011 at 6:24pm
Ia teringat Islam melarang penganutnya melakukan sesuatu dengan dasar nafsu amarah. Nabi pun melarang untuk menjatuhkan sesuatu keputusan hukum ketika sedang marah.
“Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, saya tidak menangis karena takut mati. Ajal adalah ketentuan. Mati pasti akan ditempuh oleh yang pernah hidup.”

Masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah diguncangkan oleh timbulnya pemberontakan yang hebat. Kekejaman kaum pemberontak terhadap rakyat mengakibatkan pemerintah bertekad hendak menggulungnya sampai tuntas. Siapa yang tidak mau menyerah, diancam hukuman mati.
Pada suatu hari seorang pemberontak tertangkap. Ia dijatuhi hukuman pancung kepala. Algojo sudah siap. Pelaksanaan hukuman mati akan segera dimulai. Rakyat sudah menunggu dengan berdebar-debar.
Sesuai dengan peraturan, kepada terhukum diberikan kesempatan untuk menyampaikan permintaan terakhir.
Berkata Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Hai pemberontak ganas. Apa ada permohonanmu yang penghabisan? Kuberikan kesempatan untuk menyampaikan keinginanmu sebelum kepalamu menggelinding.”
“Terima kasih, Amirul Mukminin,” jawab pemberontak. “Saya hanya menginginkan secawan air dingin.”
“Hanya semangkuk air dingin saja? Bukan makanan yang lezat-lezat?” tanya Khalifah keheranan.
“Tidak, Tuanku, secawan air dingin saja.”
“Baik, akan kupenuhi permintaanmu,” ucap Khalifah seraya memerintahkan salah seorang punggawanya untuk memberikan secawan air dingin kepada terhukum yang bakal mati sebentar lagi.
Begitu semangkuk berisi air dingin itu diterimanya, pemberontak tersebut dengan ketakutan dan penuh curiga berkata, “Apakah Tuanku mau berjanji, apabila air yang terdapat di dalam mangkuk ini belum saya minum, Tuanku tidak akan memerintahkan algojo guna memancung leher saya?”
“Tentu saja. Jika air di dalam mangkuk itu belum kau minum, engkau tidak akan dipancung,” sahut Khalifah memberikan jaminannya.
Tiba-tiba pemberontak membuang air yang terdapat di dalam cawan itu sampai habis, lantas ia berkata, “Janji adalah janji, Tuanku. Dan janji harus ditepati. Bukankah demikian, wahai pemimpin orang-orang beriman?”
Khalifah masih belum memahami apa yang dihendaki oleh pemberontak dengan perbuatannya yang tidak waras, membuang air dingin yang dimintanya sampai habis dan juga pertanyaannya itu. Tapi lantaran memang benar, Umar pun menjawab, “Pasti. Janji harus ditepati. Itulah keadilan.”
“Dan Tuanku telah berjanji tadi bahwa, jika air di cawan ini belum saya minum. Tuanku tidak akan melaksanakan hukuman pancung kepada saya. Air itu telah saya tumpahkan, dan sekarang telah kering di tanah, sehingga saya tidak akan bisa meminumnya selama-lamanya. Berarti Tuanku tidak akan memancung saya sesuai dengan janji Tuanku tadi,” ucap pemberontak dengan liciknya.
Khalifah mengerutkan kening beberapa lama, kemudian tertawa dan membebaskan pemberontak tersebut dari hukuman matinya.
Pada kali yang lain, seorang pemberontak yang sama ganasnya tertangkap juga. Dengan murka yang mencapai puncaknya, Khalifah memerintahkan agar pemberontak itu segera dipancung.
Sekonyong-konyong, menjelang hukuman mati dilaksanakan, pemberontak itu menangis terguguk-guguk. Khalifah dengan wajah sinis dan memandang hina berkata, “Engkau menangis? Seorang pemberontak yang konon gagah berani menangis karena menghadapi kematiannya? Apakah engkau sekarang sudah jadi tikus yang pengecut dan takut mati?”
Pemberontak itu menyahut, “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, saya tidak menangis karena takut mati. Ajal adalah ketentuan. Mati pasti akan ditempuh oleh yang pernah hidup.”
“Jadi, mengapa engkau menangis?”
“Saya menangis lantaran saya akan mati ketika Tuanku sedang murka.”
Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz tertunduk. Ia teringat Islam melarang penganutnya melakukan sesuatu dengan dasar nafsu amarah. Nabi pun melarang untuk menjatuhkan sesuatu keputusan hukum ketika sedang marah. Maka Khalifah segera memberi perintah untuk membebaskan pemberontak tersebut dari hukuman pancung kepala.
Akhirnya pemberontakan itu pun dapat ditumpas sirna. Dalam penyerangan yang gemilang itu salah seorang gembong pemberontak diringkus dan dirantai. Jelas hukumannya sebagai pembangkang terhadap kekuasaan pemerintah yang sah tidak lain kecuali mati di tangan algojo.
Gembong pemberontak itu dirantai, dan hukuman segera akan dijalankan. Pada suatu kesempatan, gembong tersebut berkata kepada Khalifah, “Wahai, Amirul Mukminin. Tuan telah diberi kemenangan. Maka anugerahilah saya yang kalah dengan sesuatu yang melebihi nilai kemenangan.”
“Apakah maksudmu?” tanya Khalifah singkat.
“Berikan kepada saya ampunan dan kesempatan untuk bertobat serta memperbaiki kesalahan.”
“Tidak. Engkau dihukum justru karena engkau bersalah dan menolak untuk menyerah. Dan itulah keadilan.”
“Perkataan Tuanku memang benar, tidak keliru. Tapi, bukankah Tuanku pernah menyatakan bahwa ada yang lebih tinggi harganya daripada keadilan, yaitu memberi maaf? Maafkanlah saya, karena Allah cinta kepada orang yang mengasihi sesamanya, terutama orang yang lemah, kalah, dan berdosa.”
Khalifah termakan oleh ucapan tersebut sehingga dengan demikian gembong pemberontak itu dibebaskan dengan harapan dapat menempuh jalan yang benar di belakang hari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar