Pages

Subscribe:

Jumat, 25 November 2011

Ujian Iman versi ke-2

(Letak martabat keimanan seorang hamba Allah)

by Ali Oman on Thursday, June 2, 2011 at 12:45pm

Dosa apakah yang telah saya lakukan, wahai Tuan Imam, sampai saya menerima cobaan seberat ini?” Tanya wanita itu tersedu-sedu, seolah mengiringi deru angin yang berhembus dari berbagai penjuru. Tampaknya segenap penghuni bumi yang mengalami nasib serupa ikut mengadu dan menuntut.

………“Lalu, mengapa musibah itu harus menimpa saya? Tidak cukupkah ibadah saya selama ini kepada-Nya? Tengoklah, Tuan Imam, mereka yang menentang Allah bahkan hidup bersenang-senang.”

Pada suatu hari seorang ayah menyembelih kambing untuk akiqah anak bungsunya, disaksikan sendiri oleh istri dan anak-anaknya. Sehari kemudian, sesudah selesai hajatnya, ayah itu pergi ke Baghdad untuk berniaga.
Keluarga itu termasuk yang paling rukun dan serasa di antara keluarga-keluarga lainnya. Anak-anaknya patuh dan taat kepada orang tua. Yang sulung, seorang gadis, baru berusia dua belas tahun. Adiknya laki-laki, saat itu menjelang enam tahun. Nomor tiganya juga laki-laki, sedang memasuki usia tiga tahun. Sedangkan yang bungsu masih menyusu kepada ibunya.
Sungguh bahagia kehidupan keluarga itu, seolah kegembiraan tak kan pernah pergi dari rumah mereka. Namun, alangkah malangnya nasib keluarga tersebut. Ibu setengah tua itu tiba-tiba berjalan tergopoh-gopoh menuju rumah Imam al-Bashri seraya air matanya mengucur deras. Dengan tersedu-sedu ia minta izin untuk menghadap, disambut sang Imam dengan penuh iba dan tanda Tanya.
“Mengapa? Adakah sebarang musibah menimpa diri Ibu?” Tanya sang Imam.
Sambil menghapus air matanya ibu itu lalu bercerita, “Saya tadi siang pergi ke pasar. Yang saya ajak hanya anak yang masih menyusu. Ketika saya pulang, saya dapati anak laki-laki saya yang berumur tiga tahun telah berkubang darah, lehernya digorok oleh abangnya sendiri. Agaknya, setelah melihat ayahnya menyembelih kambing akiqah, anak itu menirukan semua yang dilakukan ayahnya. Dan ia mempraktekkannya terhadap adiknya sendiri. Terlihat dari darah yang berceceran sampai ke kamarnya. Anak itu bersembunyi, barangkali takut kepada saya. Ia mengendap-endap di halaman rumah. Saya kejar dia agar jangan lari. Ia makin ketakutan, dan larinya kian kencang. Entahlah, di mana dia sekarang, saya belum berhasil menemukannya.”
Imam Hasan al-Bashri ikut berduka, terbawa oleh kamalangan yang menimpa wanita itu.
“Cukup lama saya mencari anak itu, sementara anak yang masih menyusu saya tinggalkan di rumah, saya titipkan kepada anak sulung saya yang sudah menjadi gadis berumur dua belas tahun. Namun, apa yang saya temukan setelah saya pulang?” ujar wanita itu makin murung. “Rupanya, kakaknya asyik bermain sendiri dan adiknya dibiarkan merangkak kesana-kemari sampai akhirnya masuk ke dapur. Ketika saya cari-cari, anak susuan saya itu sudah hangus terbakar. Dan kakaknya yang merasa bersalah, menghilang dari rumah, sampai saat ini tak ketahuan rimbanya.”
Imam Hasan al-Bashri tidak mampu berbicara sepatah kata pun. Ia bias merasakan, alangkah hancurnya hati wanita itu. Dari sebuah keluarga bahagia, mendadak menjadi seorang ibu yang kehilangan semua anaknya. Belum lagi nanti, kalau suaminya pulang, dan mendapati musibah yang mengerikan itu, bagaimana nasib sang ibu? Bukankah suaminya akan marah dan boleh saja menimpakan kesalahan itu kepadanya? Tidakkah ia akan lebih terlunta-lunta dan sengsara?
“Dosa apakah yang telah saya lakukan, wahai Tuan Imam, sampai saya menerima cobaan seberat ini?” Tanya wanita itu tersedu-sedu, seolah mengiringi deru angin yang berhembus dari berbagai penjuru. Tampaknya segenap penghuni bumi yang mengalami nasib serupa ikut mengadu dan menuntut. “Kutukan apa yang menimpa kami? Bukankah kami menyembah-Mu, ya Tuhan, menepati perintah-Mu, dan menjauhi larangan-Mu?”
Imam Hasan al-Bashri hampir tidak mampu membuka suara. Akan tetapi, kemudian ia menguatkan dirinya dan berkata, “Saya hanya bias mengutip firman Allah. Dengarkanlah janji-Nya, “Pasti akan Kami uji kalian dengan sesuatu dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, pangan, dan jiwa. Maka berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu mereka yang bila tertimpa musibah, dengan tabah berkata: Innaa lillaahi wainna ilaihi raaji’uun (Kami berasal dari Allah dan bakal kembali kepada Allah).
Wanita bernasib buruk itu menunduk. Dengan suara lebih lantang ia menyanggah, “Lalu, mengapa musibah itu harus menimpa saya? Tidak cukupkah ibadah saya selama ini kepada-Nya? Tengoklah, Tuan Imam, mereka yang menentang Allah bahkan hidup bersenang-senang.”
Sang Imam yang arif itu menatap wanita di depannya dan menjawab, “Bolehlah pertanyaan ibu saya jawab dengan ucapan Nabi SAW yang dalam hadist pernah bersabda, “Sesungguhnya sebesar-besar ganjaran itu disediakan di dalam ujian yang lebih besar. Dan sesungguhnya, bila Allah mencintai hamba-Nya, diuji-Nya hamba itu dengan berbagai musibah.”
Barangkali logika ini tidak tercerna oleh mereka yang tidak mengenal apa dan siapa manusia serta apa dan siapa Sang Pencipta, bahwa Tuhan berhak mutlak untuk berbuat sekehendak-Nya, dan manusia mempunyai kewenangan untuk berusaha. Namun, Tuhan senantiasa setia kepada hokum alam yang telah ditetapkan-Nya sebagai sunnatullah, yaitu tentang sebab dan akibat. Artinya, betapapun manusia telah menghamba kepada Tuhan sepenuhnya, ia tidak seharusnya lalai akan perubahan nasib yang bias terjadi akibat keteledoran dan kesembronoannya sendiri, sebagaimana ia harus tahu bahwa tidak mungkin mencapai peruntungan dan kedudukan yang lebih baik tanpa ikhtiar dan daya upaya. Adapun kalau sudah berusaha, ternyata masih juga tertimpa kemalangan, di situlah letaknya martabat keimanan seseorang. Siapa yang tabah dan pasrah, dialah yang berhak menempati derajat mulia di sisi Tuhannya.
Mendengar penjelasan sang Imam, wanita itu makin surut kesedihannya. Dengan kepada runduk namun hatinya berbunga, ia pun melangkah lebih tegar untuk menghadapi suasana yang boleh jadi akan sangat tegang dengan suaminya, ayah kandung anak-anak itu. Tetapi, ia yakin, Allah bukan sedang murka kepadanya, melainkan tengah mengujinya. Jika lulus, pasti rahmat yang bakal dipetiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar